Perjanjian Shimonoseki (Shimonoseki Jōyaku) adalah perjanjian antara Dinasti Qing dari Cina dan Kekaisaran Jepang yang mengakhiri Peperangan Jiawu. Perjanjian ditandatangani 17 April 1895 dalam Konferensi Perdamaian Shimonoseki yang berlangsung dari 20 Maret hingga 17 April 1895 di kota Akamagaseki (sekarang disebut Shimonoseki), Prefektur Yamaguchi. Pihak Jepang diwakili Ito Hirobumi dan Mutsu Munemitsu, sedangkan pihak Dinasti Qing diwakili Li Hongzhang. Perjanjian Shimonoseki antara Tiongkok Dinasti Qing dan Jepang ditandatangani, mengakhiri Peperangan Jiawu; Korea, Formosa, Kepulauan Pescadores, dan Semenanjung Liaodong jatuh ke tangan Jepang.
Peperangan Jiawu - Perang Cina-Jepang Pertama (Zhōngrì Jiǎwǔ Zhànzhēng}(Romaji: Nisshin Sensō) (1 Agustus 1894 – 17 April 1895) adalah sebuah perang antara Dinasti Qing China dan Meiji Jepang dalam perebutan kendali atas Korea. Perang Cina-Jepang merupakan simbol kemerosotan Dinasti Qing dan juga menunjukkan kesuksesan modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji dibandingkan dengan Gerakan Penguatan Diri di China.
Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Dinasti Qing dan penandatanganan Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895 yang berakibat pada ganti rugi 30 miliar tael kepada Jepang. Pengaruh selanjutnya dari perang ini adalah pergantian dominansi regional Asia dari China kepada Jepang dan merupakan pukulan telak untuk Dinasti Qing dan tradisi China kuno.
Perjanjian Shimonoseki dikenal juga sebagai Perjanjian Maguan (Pinyin: Mǎgūan tiáoyuē). Penandatanganan perjanjian ini menyebabkan tiga negara Eropa (Rusia, Jerman, dan Perancis) melakukan intervensi diplomatik pada 23 April 1895 agar Perjanjian Shimonoseki dikaji ulang yang membawa hasil Dinasti Qing tidak perlu menyerahkan Semenanjung Liaodong. Berdasarkan perjanjian ini, Dinasti Qing setuju untuk melepaskan pengaruhnya secara penuh atas Dinasti Joseon yang mengubah nama menjadi Kekaisaran Korea. Selanjutnya, hak diplomatik Kekaisaran Korea dirampas dan Korea berada dalam zaman pendudukan Jepang dari tahun 1910 hingga 1945.
Ringkasan isi perjanjian :
- Dinasti Qing mengakui kemerdekaan dan otonomi Dinasti Joseon secara penuh dan tanpa syarat. Sebagai akibat kemerdekaan dan otonomi, pembayaran upeti, barang persembahan, dan formalitas ke Dinasti Qing dihapus untuk selamanya.
- Dinasti Qing menyerahkan hak atas wilayah berikut, termasuk semua benteng pertahanan, gudang senjata, dan aset pemerintah yang terkait kepada Jepang.
- Dinasti Qing menyerahkan Semenanjung Liaodong, Formosa, dan Kepulauan Pescadores.
- Dinasti Qing membayar pampasan perang ke Jepang sebanyak 200 juta kùpíng tail emas (sekitar 300 juta yen).
- Dinasti Qing harus membuka kota Shashi, Chongqing, Suzhou, dan Hangzhou untuk perdagangan, tempat tinggal, industri dan manufaktur Jepang
Berdasarkan Intervensi Tiga Negara, Jepang menerima tambahan ganti rugi atas penarikan pasukan dari Semenanjung Liaodong. Jumlah ganti rugi sebanyak 30 juta tail emas (45 juta yen) yang dibayar dalam jangka waktu tiga tahun dalam mata uang Pound sterling.
Intervensi Tiga Negara (Sangoku Kanshō) adalah intervensi diplomatik pada tanggal 23 April 1895 yang dilakukan Rusia, Jerman, dan Perancis sehubungan isi Perjanjian Shimonoseki yang ditandatangani Jepang dan Dinasti Qing untuk mengakhiri Perang Sino-Jepang Pertama.
Setelah Perjanjian Shimonoseki ditandatangani antara Jepang dan Cina pada 17 April 1895 untuk mengakhiri Perang Sino-Jepang Pertama (1894-95), tiga negara Eropa(Rusia, Jerman dan Perancis) melakukan intervensi pada 23 April dengan apa yang disebut 'nasihat bersahabat' terhadap Jepang untuk menyerahkan Semenanjung Liaodong (Liaotung) termasuk Lüshunkou (Port Arthur) kepada Cina.
Jepang dengan berat hati menyetujuinya, karena negara itu sudah kelelahan setelah perang itu dan tidak berdaya untuk melawan tanpa bantuan Inggris, tetapi hal ini tidak terjadi. Sebaliknya, Inggris menasihati Jepang untuk menerima 'nasihat' ketiga negara tersebut. (Inggris saat itu merasa tersinggung karena penolakan Jepang untuk menerima mediasi Inggris sebelum perang mulai).
Hampir bersamaan saatnya, Rusia bergerak untuk menduduki seluruh Semenanjung Liaodong dan, khususnya membentengi Port Arthur meskipun Cina, Jepang, maupun Amerika Serikat memprotes keras. Ketiga negara tersebut lebih menyukai Politik Pintu Terbuka di Manchuria. Jepang merasa dipermalukan oleh Rusia, sehingga kemudian Jepang melakukan pembalasan pada Perang Rusia-Jepang (1904-1905), setelah Jepang memperoleh aliansi Inggris-Jepang pada 1902.