Hari Perempuan   Women Day

blogger counters


Pakta Tripartit - Jepang-Jerman-Italia

Pakta Tripartit - Jepang-Jerman-Italia
Pakta Tripartit (bahasa Jerman: Dreimächtepakt, bahasa Italia: Patto tripartito, bahasa Jepang: Nichidokui sangoku gunji dōmei, Aliansi Militer Tiga Negara Jepang-Jerman-Italia) adalah pakta yang ditandatangani di Berlin pada 27 September 1940 oleh Saburo Kurusu dari Kekaisaran Jepang, Adolf Hitler dari Jerman Nazi, dan Menteri Luar Negeri Galeazzo Ciano dari Italia. Berdasarkan pakta ini, ketiga negara membentuk aliansi militer dan secara resmi membentuk Blok Poros dalam Perang Dunia II melawan Sekutu.

Pakta ini adalah kelanjutan dari Pakta Pertahanan Jerman-Jepang tahun 1936 dan pakta pertahanan Jepang-Jerman-Italia tahun 1937. Pakta ini berisi saling pengakuan atas kepemimpinan tiga negara di wilayah masing-masing, Asia dipimpin oleh Jepang sementara Eropa dipimpin oleh Nazi Jerman dan Italia. Bila salah satu negara penandatangan pakta ini diserang Amerika Serikat, mereka akan saling membantu. Pada praktiknya, pakta ini adalah aliansi anti-Amerika Serikat, dan membuat hubungan Jepang dengan Inggris dan Amerika Serikat semakin bertambah buruk.

Hongaria ikut menjadi negara penandatangan Pakta Tripartit pada 20 November 1940, diikuti Rumania (23 November 1940), Slowakia (24 November 1940), Bulgaria (1 Maret 1941), dan Kroasia (15 Juni 1941).

Pakta Tripartit tahun 1940 antara Jepang, Jerman, dan Italia

Pasal 1. Jepang mengakui dan menghormati kepemimpinan Jerman dan Italia dalam pembentukan tatanan baru di Eropa.

Pasal 2. Jerman dan Italia mengakui dan menghormati kepemimpinan Jepang dalam pembentukan tatanan baru di Asia Timur Raya.

Pasal 3. Jepang, Jerman, dan Italia setuju untuk bekerja sama dalam usaha mereka seperti yang disebutkan di atas. Mereka lebih jauh lagi berusaha menolong satu sama lainnya dalam semua bidang politik, ekonomi, dan militer, bila salah satu dari pihak yang menandatangani pakta diserang oleh negara yang sekarang ini tidak terlibat dalam Perang Eropa atau dalam konflik Jepang-Cina.

Pasal 4. Untuk pelaksanaan pakta ini, komisi teknis bersama akan dibentuk segera oleh masing-masing Pemerintah Jepang, Jerman, dan Italia, tanpa ditunda-tunda.

Pasal 5. Jepang, Jerman, dan Italia menegaskan bahwa perjanjian di atas tidak akan dalam bentuk apapun memengaruhi status politik yang sekarang antara salah satu Pihak Penandatangan Pakta dan Uni "Soviet".

Pasal 6. Pakta ini berlaku segera setelah ditandatangani dan akan terus berlaku selama sepuluh tahun sejak berlakunya pakta ini. Sebelum pakta ini berakhir, pada saat yang tepat, Pihak Penandatangan Pakta, berdasarkan permintaan salah satu dari mereka, dapat meminta perundingan untuk pembaruan pakta ini.
Selengkapnya

Perang Iran-Irak Teluk Persia Pertama

Perang Iran-Irak - Teluk Persia Pertama
Perang Iran-Irak juga dikenali sebagai Pertahanan Suci dan Perang Revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah Saddam (قادسيّة صدّام, Qādisiyyat Saddām) di Irak, adalah perang di antara Irak dan Iran yang bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Umumnya, perang ini dikenali sebagai Perang Teluk Persia sehingga Konflik Iraq-Kuwait meletus pada awal 1990-an, dan untuk beberapa waktu dikenali sebagai Perang Teluk Persia Pertama.

Peperangan ini bermula ketika pasukan Irak menerobos perbatasan Iran pada 22 September 1980 akibat masalah perbatasan yang berlarut-larut antara kedua negara dan juga kekhawatiran Saddam Hussein atas perlawanan Syiah yang dibawa oleh Imam Khomeini dalam Revolusi Iran. Walaupun Irak tidak mengeluarkan pernyataan perang, tentaranya gagal dalam misi mereka di Iran dan akhirnya serangan mereka dapat dipukul mundur Iran. Walaupun PBB meminta adanya gencatan senjata, pertempuran tetap berlanjut sampai tanggal 20 Agustus 1988; Pertukaran tawanan terakhir antara kedua negara ini terjadi pada tahun 2003. Perang ini telah mengubah wilayah dan situasi politik global.

Perang ini juga memiliki kemiripan seperti Perang Dunia I. Taktik yang digunakan seperti pertahanan parit, pos-pos pertahanan senapan mesin, serangan dengan bayonet, penggunaan kawat berduri, gelombang serangan manusia serta penggunaan senjata kimia(seperti gas mustard) secara besar-besaran oleh tentara Irak untuk membunuh pasukan Iran dan juga penduduk sipilnya, seperti yang dialami juga oleh warga suku Kurdi di utara Irak. Dalam perang ini dipercaya lebih dari satu juta tentara serta warga sipil Irak dan Iran tewas, dan lebih banyak lagi korban yang terluka dari kedua belah pihak selama pertempuran berlangsung.

Tanggal : 22 September 1980 – 20 Agustus 1988
Lokasi : Teluk Persia, Perbatasan Iran-Iraq
Hasil : Jalan buntu; Kegagalan strategis Iraq; Kegagalan taktis Iran; Gencatan senjata dengan mandat PBB; status quo ante bellum; Pengutukan kepada Iraq oleh PBB; Iran temporarily holds onto the Shatt al-Arab waterway
Casus belli : Perselisihan jalur air Syath al-Arab; Perselisihan batas historis dan teritorial; Ketakutan rejim Ba'ath Irak terhadap ancaman Iran; Ketakutan terhadap kebangkitan Syi'ah di selatan Irak karena Revolusi Islam Iran tahun 1979.
Perubahan wilayah : Kedua pihak kembali ke batas sebelum perang

Pihak yang terlibat
Iran : Persatuan Patriot Kurdistan
Irak : Mojahedin Khalgh
Iran Komandan : Ruhollah Khomeini, Hashemi Rafsanjani, Ali Shamkhani, Mustafa Chamran
Irak Komandan : Saddam Hussein, Ali Hassan al-Majid
Kekuatan Iran : 305.000 prajurit, 500.000 Pasdaran dan Milisi Basij, 900 tank, 1.000 kendaraan berat, 3.000 artileri, 470 pesawat, 750 helikopter
Kekuatan Irak : 190.000 prajurit, 5.000 tank, 4.000 kendaraan berat, 7.330 artileri, 500+ pesawat, 100+ helikopter
Korban Iran : Est. 500,000-750,000 prajurit/milisi/sipil terbunuh atau luka Korban Irak : Est. 375,000-500,000 prajurit/milisi/sipil terbunuh atau luka

Walaupun perang Iran-Irak yang dimulai dari tahun 1980-1988 merupakan perang yang terjadi di wilayah Teluk Persia, akar dari masalah ini sebenarnya dimulai lebih dari berabad-abad silam. Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia(terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat, yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern.
Selengkapnya

Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Rapat Raksasa di Lapangan Ikada
Rapat Raksasa Lapangan Ikada terjadi pada 19 September 1945, saat Soekarno memberikan pidato singkat di hadapan ribuan rakyat di Lapangan Ikada dalam rangka memperingati 1 bulan proklamasi kemerdekaan.

Kabinet pertama (Presidensiel) baru terbentuk pada tanggal 5 September 1945 dimana Bung Karno bertindak selaku perdana menteri dan sejumlah pemuka ditunjuk sebagai menteri dalam 12 Kementerian. Pemerintahan ini juga memiliki 4 orang menteri negara dan 4 pimpinan lembaga lainnnya yaitu, Ketua Mahkamah Agung, Jakasa Agung, Sekretaris Negara dan Juru bicara negara.

Daerah Jakarta Raya dizaman Jepang berbentuk daerah khusus kota besar (Tokobetsu) dan Soewiryo menjabat wakil walikota. Pada saat kemerdekaan tahun 1945 Soewirjo mengambil alih jabatan walikota tersebut kemudian menunjuk Mr Wilopo sebagai wakilnya. Meskipun Pak Wirjo begelar Walikota namun dia lebih dikenal sebagai Bapak Rakyat Jakarta. Sebagai orang yang berkecimpung lama dalam Pemerintahan Kota aktifitas beliau amat khusus. Kantornya dibalai kota jalan Merdeka selatan Jakarta sekarang.

Saat Proklamasi 17 Agustus 1945 dipegangsaan timur 56, Pak Wiryo bertindak selaku ketua panitia mempersiapkan dan menyelenggarakan acara tersebut. Ketua KNI Jakarta Raya adalah Mr Mohammad Roem. Setelah 17 Agustus 1945, berita Proklamasi dari Jakarta segera menyebar kseluruh tanah air melalui media elektronik (saat itu radio dan kontak-kontak telegrafis) dan cetak maupun dari mulut kemulut. Dengan sendirinya timbullah reaksi spontan yang amat bergelora. Akibatnya selama bulan Agustus dan September 1945 telah diadakan berbagai kegiatan massa seperti rapat-rapat regional wilayah maupun rapat-rapat lokal ditingkat kecamatan-kelurahan atau pada tempat-tempat berkumpul lainnya.

Rapat wilayah kota Jakarta yang cukup besar terjadi pada akhir bulan Agustus 1945. Yaitu rapat rakyat dalam rangka menyambut berdirinya KNI yang bertempat dilapangan Ikada. Setelah rapat bubar, sebahagian massa mengadakan gerakan pawai berbaris mengelilingi kota dengan mengambil rute Ikada, Menteng Raya, Cikini dan Pegangsaan Timur. Dimuka rumah Pegangsaan Timur 56, Presiden Sukarno dan Ibu Fatmawati serta sejumlah menteri menyambut.

Kegiatan rakyat seperti ini menarik perhatian pihak Jepang dan khawatir akan menimbulkan hal-hal yang berlawanan dengan dengan ketentuan penguasa Jepang sesuai instruksi sekutu. Maka pada tanggal 14 September 1945 dikeluarkan larangan untuk berkumpul lebih dari 5 orang. Ditambah larangan untuk melakukan kegiatan-kegiatan provokasi yang memunculkan demonstrasi melawan penguasa Jepang. Padahal saat itu sedang dipersiapkan sebuah rapat yang lebih besar dan sudah bersifat rapat raksasa yaitu Rapat Raksasa Ikada.

Ide pertama rencana tersebut, datangnya dari para pemuda dan mahasiswa dalam organisasi Commite van Actie yang bermarkas di Menteng 31 Jakarta, untuk mengadakan peringatan 1 bulan Proklamasi pada tanggal 17 September 1945. Gagasan ini didukung oleh Pak Wirjo selaku walikota Jakarta Raya dan ketua KNI Jakarta Raya, Mr Mohammad Roem. Maka dengan serentak Pemuda-Mahasiswa menyelenggarakan persiapan teknis berbentuk panitia. Lebih lanjut kemudian mereka mengkomunikasikan rencana tersebut pada pimpinan rakyat tingkat kecamatan (saat itu bernama Jepang, Siku) maupun kelurahan. Akibatnya berita ini menyebar amat luas sampai keluar Jakarta.

Tapi rencana ini tidak dapat segera terlaksana karena Pemerintah Pusat menolak menyetujuinya dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya bentrokan fisik dengan tentara Jepang yang masih berkuasa yang seperti dikatakan diatas, sudah befungsi sebagai alat sekutu. Melihat situasi ini pihak panitia kemudian memundurkan acara menjadi tanggal 19 September 1945 dengan harapan Pemerintah mau menyetujuinya.

Menurut Pemuda-Mahasiswa Rapat Raksasa ini amat penting. Karena meskipun gaung Kemerdekaan sudah menyebar kemana-mana sejak Proklamasi, namun rakyat belum melihat terjadinya perubahan-perubahan nyata ditanah air. Misalnya hak dan tanggung jawab Pemerintah belum nampak dalam aktifitas kenegaraan sehari-hari, apalagi kalau dikaitkan dengan amanat Proklamasi. Maka Rapat Rksasa amat perlu untuk menggambarkan bahwa NKRI memiliki legitimasi sosial-politik dengan cara mempertemukan langsung rakyat dan pemerintah. Dalam kesempatan ini diharapkan rakyat mendukung Pemerintah RI yang merdeka dan berdaulat. Mungkin Presiden pun akan memberikan komando-komandonya.

Dalam perkembangan selanjutnya meskipun telah diadakan pertemuan antara panitia dan Pemerintah tetap tidak dicapai kata sepakat. Ahirnya pada tanggal 19 September 1945 tiba juga. Sejak pagi hari rakyat yang sudah yakin akan diadakan rapat raksasa tersebut sejak subuh pagi hari berduyun-duyun mendatangi lapangan ikada dan berkumpul membentuk kesatuan massa yang amat besar. Untuk menenangkan massa rakyat ini, pihak Pemuda-Mahasiswa mengajak bernyanyi. Atas usaha panitia, telah siap sistim pengeras suara yang cukup memadai, ambulance kalau-kalau diperlukan ada yang membutuhkan pertolongan medis, dokumentasi yang dilaksanakan oleh juru foto dari kelompok ikatan jurnailistik profesional maupun amatir serta camera man Berita Film Indonesia (BFI).

Pihak penguasa Jepang yang melihat derasnya arus rakyat yang menuju Ikada dan telah berkumpulnya massa yang besar, memanggil para penaggung jawab daerah Jakarta. Pak Wiryo dan Mr Roem mendatangi kantor Kempetai dan berusaha menjelaskan maksud dan tujuan dari berkumpulnya rakyat di Ikada dan mengatakan gerakan spontan ini hanya bisa diatasi oleh satu orang yaitu Presiden Soekarno sendiri. Tapi pihak Jepang tidak mau mengambil resiko dan mengirim satuan tentara yang dilengkapi kendaraan lapis baja. Penjagaan segera dilaksanakan oleh pasukan bersenjata dengan sangkur terhunus dilengkapi peluru tajam.

Sementara kabinet Pemerintah RI tetap menolak. Bahkan ada berita kalau Presiden dan kabinetnya kalau perlu akan bubar. Mahasiswa segera mengambil inisiatip. Mereka mendatangi Presiden Soekarno pagi subuh tanggal 19 September 1945. Dijelaskan bahhwa Jepang tidak mungkin akan bertindak keras karena sesuai dengan tugas`sekutu, amat berbahaya bagi keselamatan kaum internira. Selain itu tentara Jepang akibat kalah perang telah kehilangan semanngat. Nampaknya Presiden mau diajak kompromi dan berjanji akan membicarakannya dalam rapat kabinet pagi hari. Pada tanggal 19 September 1945 pagi hari memang berlangsung rapat kabinet untuk membicarakan antara lain akan dibentuknya Bank Negara Indonesia.

Rapat yang sedang berlangsung digedung ex Jawa Hokokai tidak kunjung selesai juga sampai waktu telah menunjukkan pukul 16.00. Para Pemuda-Mahasiswa mendesak terus agar Presiden segera berangkat ke Ikada. Mereka mengatakan bahwa tidak akan bertanggung jawab kalau masa berbuat sesuatu diluar kontrol, padahal rakyat hanya menginginkan kedatangan para pemimpinya untuk menyampaikan amanat sebagai kelanjutan Proklamasi.

Sebagai jaminan Pemuda-Mahasiswa akan menjaga keselamatan para anggota kabinet tersebut. Ahirnya Presiden Sukarno mengambil keputusan akan ke Ikada. Bagi para anggota kabinet lainnya yang berkeberatan dipersilahkan untuk tidak ikut. Namun nyatanya semua yang hadir dalam gedung ex Jawa Hokokai dengan kendaraan masing-masing juga menuju Ikada. Presiden Sukarno dikawal Pemuda-Mahasiswa dengan menggunakan mobil menuju lapangan Ikada dengan lebih dahulu mampir di Asrama Prapatan 10 Jakarta karena akan bertukar pakaian.

Ketika Presiden tiba rombongannya ditahan oleh sejumlah perwira Jepang utusan dari Jenderal Mayor Nishimura yaitu yang dipimpin oleh Let.Kol Myamoto. Jelas ini bukan Kempetai dan menggambarkan Jepang memakai kebijaksanaan lunak. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menjamin akan mampu mengendalikan massa meskipun nampaknya massa rakyat sudah siap bentrok fisisk. Hal ini dapat terlihat dimana rakyat yang mempersenjatai diri dengan bambu runcing, golok, tombak dan sebagainya.

Ternyata Presiden hanya bebicara tidak lebih dari lima menit lamanya. Yang isinya : Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, maka kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin.

Setelah pidato Presiden selesai rakyat yang sudah bertahan di Ikada selama lebih dari 10 jam ahirnya bubar dengan teratur tampa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal kalau diperhitungkan massa yang besar tersebut sudah bersifat ancaman terjadinya konflik fisik yang mungkin dapat memunculkan pertumpahan darah yang tidak terkira. Nampaknya semua pihak puas. Rakyat puas atas kemunculan Presiden dan para menterinya. Demikian pula Pemerintah senang karena dapat memenuhi tuntutan pemuda mahasiswa. Lebih-lebih Jepang yang terhindar dari sikap serba salah. Rupanya mereka takut mendapat sangsi pihak sektu kalau tidak mampu mengatasi keadaan Jakarta dari keadaan yang teteram dan damai.
Selengkapnya

Pembantaian Sabra dan Shatila di Beirut

Pembantaian Sabra dan Shatila - Pembantaian Palestina oleh Israel
Pembantaian Sabra dan Shatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon, yang saat itu diduduki oleh Israel. Pembantaian ini dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi anggota parlemen Lebanon, dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon.

Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota PLO. Sejauh mana Israel bersalah dalam pembantaian ini banyak diperdebatkan, dan Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab.

Latarbelakang - Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Falangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Sementara itu, fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah, Iran dan negara-negara lain di wilayah itu. Selain itu, sejak 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.

Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang. Beberapa pembantaian yang terjadi selama periode ini termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina. Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon selama masa perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang.

Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra dan Shatila" menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang.

PLO telah menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel, dan sebagai balasan Israel mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran. Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan dalam suatu tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori AS yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp-kamp pengungsi.

Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel, yang sangat populer di antara kaum Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan Nasional. Israel telah mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO.

Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari kemudian, Israel mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin keamanan para pengungsi Palestinayang tertinggal pada 11 September, setelah penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS.

Hari berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu, mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini dibantah oleh pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin membawa Gemayel ke Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Menurut sejumlah sumber, ia pun menuntut diterimanya kehadiran militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan Mayor Saad Haddad (seorang pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel untuk memindahkan para pejuang Palestina yang menurut Israel masih bersembunyi di kamp-kamp pengungsi, termasuk Sabra dan Shatila.

Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan Suriah, yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi kepentingan-kepentingan dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon. Selain itu, menurut sejumlah laporan saksi mata, ia secara pribadi merasa tersinggung atas apa yang dilihatnya sebagai sikap yang sok dari Begin atas dirinya. Ia menolak tuntutan-tuntutan Israel untuk menandatangani perjanjian itu ataupun memberikan kuasa untuk dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi.

Pada 14 September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon mempersalahkan orang-orang Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka.

Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut Barat, membunuh 88 orang dan melukai 254 orang. Tindakan Israel ini melanggar perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut Barat. AS pun telah memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin perlindungan warga Muslim di Beirut Barat. Pendudukan Israel juga melanggar perjanjian perdamaiannya dengan tentara-tentara Muslim di Beirut dan dengan Suriah.

Menachem Begin membenarkan pendudukan Israel sebagai "hal yang perlu untuk mencegah langkah-langkah balasan oleh orang-orang Kristen terhadap orang Palestina" dan untuk "menjaga keamanan dan kestabilan setelah pembunuhan Gemayel." Namun, beberapa hari kemudian, Sharon mengatakan kepada Knesset, parlemen Israel: "Masuknya kita ke Beirut Barat dimaksudkan untuk memerangi infrastruktur yang ditinggalkan oleh para teroris."

Tentara Israel kemudian melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel maupun warga sipil di Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para milisi Falangis Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap.

Peristiwa - Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon untuk memasuki kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila untuk membersihkannya dari para teroris. Di bawah rencana Israel, tentara-tentara Israel akan mengontrol daerah sekeliling kamp-kamp pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik sementara milisi Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan menyerahkannya kepada pasukan-pasukan Israel.

Namun pada akhirnya tidak seorangpun yang diserahkan kepada pasukan-pasukan Israel. Tak ada pertempuran ataupun senjata yang ditemukan di kamp-kamp itu. Dokumen-dokumen yang diajukan kepada tuntutan atas kejahatan-kejahatan perang di Belgia terhadap Ariel Sharon konon memperlihatkan bahwa kalim mengenai kehadiran para pejuang PLO di kamp-kamp itu hanyalah sebuah cerita rekaan yang disiapkan oleh Israel.

Perintah Sharon kepada para milisi Falangis menekankan bahwa militer Israel berkuasa atas seluruh pasukan di daerah itu. Militer Israel telah sepenuhnya mengepung dan menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Hari berikutnya Israel mengumumkan bahwa mereka telah mengendalikan semua posisi penting di Beirut. Militer Israel bertemu sepanjang hari dengan pucuk pimpinan Falangis untuk mengatur rincian operasi. Selama dua malam berikutnya, sejak senja hingga larut malam, militer Israel menembakkan cahaya-cahaya suar di atas kamp-kamp itu.

Pada malam 16 September, 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie Hobeika, memasuki kamp-kamp itu. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari.

Sebuah satuan yang terdiri atas 150 milisi Falangis (termasuk sejumlah pasukan SLA, menurut Saad Haddad, seperti yang dikutip oleh Robert Fisk, dan juga sumber-sumber lainnya) dikumpulkan pada pk. 4 sore. Para milisi ini dipersenjatai dengan senapan, pisau, dan kapak dan memasuki kamp-kamp itu pada pk. 18.00. Seorang perwira Falangis melaporkan 300 pembunuhan, termasuk korban sipil, kepada pos komando Israel pada pk. 20.00, dan lebih jauh melaporkan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini berlanjut sepanjang malam. Sebagian dari laporan-laporan ini diteruskan kepada pemerintah Israel di Yerusalem, dan dibaca oleh sejumlah pejabat senior Israel.

Pada satu kesempatan, seorang anggota milisi mengirimkan lewat berita pertanyaan kepada komandannya Hobeika tentang apa yang harus dilakukannya dengan kaum perempuan dan anak-anak di kamp pengungsian itu, dan terdengar oleh seorang perwira Israel yang mendengar jawaban Hobeika bahwa “Ini adalah kali terakhir anda mengajukan pertanyaan seperti itu kepada saya, anda tahu benar apa yang harus dilakukan.” Para tentara Falangis kedengaran tertawa di belakang.

Sang perwira Israel melaporkan hal ini kepada atasannya, Jenderal Yaron, yang memperingatkan Hobeika agar tidak melukai warga sipil, tetapi tidak mengambil langkah lebih jauh. Letnan Avi Grabowsky dikutip oleh Komisi Kahan bahwa ia melihat (pada hari Jumat itu) pembunuhan atas lima orang perempuan dan anak-anak. Ia berbicara kepada komandan batalyonnya tentang hal ini; ia menjawab “Kita tahu, memang kita tidak menyukainya, dan kita tidak ikut campur.” Pasukan-pasukan Israel yang mengepung kamp-kamp itu bermasa bodoh terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari pembantaian itu, seperti yang difilmkan oleh seorang kamerawan Visnews.

Para milisi Falangis secara teratur kembali ke satuan-satuan Israel dan diberikan makanan, air, dan amunisi selama pembantaian itu berlangsung. Belakangan sore itu, terjadilah rapat antara Kepala Staf Israel dengan staf Falangis. Menurut laporan Komisi Kahan (berdasarkan laporan seorang agen Mossad), Kepala Staf itu menyimpulkan bahwa kaum Falangis harus “melanjutkan aksi, menyapu bersih kamp-kamp yang kosong di selatan Fakahani sampai besok pk. 5 pagi; pada saat itu mereka harus menghentikan aksi mereka karena adanya tekanan dari Amerika. Ia mengklaim bahwa ia “tidak merasa bahwa sesuatu yang tidak lazim telah terjadi atau akan terjadi di kamp-kamp itu.” Pada rapat itu, ia pun setuju untuk memberikan milisi itu sebuah buldozer, yang konon dimaksudkan untuk merubuhkan bangunan-bangunan.

Pada hari Jumat, 18 September, sementara kamp-kamp itu masih disegel, beberapa pengamat independen berhasil masuk. Di antara mereka adalah seorang wartawan Norwegia, diplomat Norwegia, Ane-Karine Arvesen, yang mengamati kaum Falangis pada operasi-operasi pembersihan mereka, yang menyingkirkan mayat-mayat dari rumah-rumah yang dihancurkan di kamp Shatila.” [Harbo, 1982]

Pasukan-pasukan Falangis tidak meninggalkan kamp-kamp itu pada pk. 5.00 pagi hari Sabtu, seperti yang diperintahkan. Mereka memaksa mereka yang masih tersisa untuk berbaris keluar dari kamp, dan secara acak membunuhi mereka, sementara yang lainnya dikirim ke stadion untuk diinterogasi. Hal ini berlangsung sehari penuh. Milisi akhirnya meninggalkan kamp pada pk. 8.00 pagi pada 18 September. Wartawan-wartawan asing pertama yang diizinkan masuk ke kamp pada pk. 9.00 pagi menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp itu, banyak di antaranya yang terpotong-potong. Berita resmi pertama tentang pembantaian ini disiarkan sekitar tengah hari.

Jumlah korban sebenarnya diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, malah ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Lebanon dan sisanya Palestina. Berikut ini adalah klaim-klaim utama yang disusun berdasarkan jumlah korban:

> Surat dari kepala utusan Palang Merah kepada Menteri Pertahanan Lebanon, yang dikutip dalam laporan Komisi Kahan sebagai "bukti 153", menyatakan bahwa wakil-wakil Palang Merah telah menghitung 328 mayat; tetapi komisi ini mencatat bahwa "namun demikian angka ini tidak mencakup semua mayat..."
> Komisi Kahan mengatakan bahwa, menurut "sebuah dokumen yang tiba di tangan kami (bukti 151), jumlah korban keseluruhan yang tubuhnya ditemukan sejak 18.9.82 hingga 30.9.82 adalah 460". Komisi ini mengklaim bahwa angka ini terdiri dari "jumlah mayat yang dihitung oleh Palang Merah Lebanon, Palang Merah Internasional, Pertahanan Sipil Lebanon, korps medis dari tentara Lebaon, dan oleh keluarga para korban."
> Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, "ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas."
> Menurut BBC, "sekurang-kurangnya 800" orang Palestina meninggal.
> Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya Sabra and Shatila: September 1982 (Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.
> Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa "2.000 'teroris' - perempuan maupun laki-laki - telah terbunuh di Chatila." Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang (Schiff and Ya'ari 1984).
> Dalam bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan setelah pembantaian itu menurut sumber-sumber resmi dan Palang Merah dan "perkiraan yang kasar sekali" menduga 1.000-1.500 korban lainnya yang disingirkan oleh para Falangis itu sendiri. Angka keseluruhannya yaitu 3.000-3.500 ini yang sering dikutip oleh orang Palestina.

Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, yang terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002.
Selengkapnya