Hari Perempuan   Women Day

blogger counters


Rabindranath Tagore Raih Nobel Sastra

Rabindranath Tagore Raih Nobel Sastra
Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861 – meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun) juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra pada tanggal 14 November 1913. Reputasi Tagore di dunia sastra sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya, meskipun ia juga menulis novel, esai, cerita pendek, catatan perjalanan, cerita drama, dan ribuan lagu. Mengenai karya-karya prosa yang dihasilkan, cerita pendek adalah yang paling mendapatkan perhatian; tentu saja, ia tercatat sebagai orang yang merintis karya cerita pendek dalam Bahasa Bengali. Karya-karyanya sering menjadi perhatian karena irama yang unik, lirik-lirik yang mengandung pujian bagi alam semesta, serta lirik-lirik yang bernada optimis. Dan juga, banyak dari cerita yang ditulisnya diambil dari kehidupan sehari-hari yang sederhana — kehidupan manusia biasa.

Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati. Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel dikenal dan dikagumi dunia luas. Ia juga seorang reformis kebudayaan dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari aliran Rabindrasangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

Tagore memiliki nama kecil "Rabi", lahir di Jasanko Mansion, adalah putra dari Debendranath Tagore dan Sarada Devi, anak bungsu dari empat belas bersaudara. Setelah menjalani upacara Upanayanam di usia sebelas tahun, (suatu prosesi upacara yang menandai bagi seorang anak laki-laki untuk memasuki masa Brahmacari, masa menuntut ilmu.) Tagore bersama ayahnya meninggalkan Kolkata pada tanggal 14 Februari 1873 untuk melakukan perjalanan panjang di India selama beberapa bulan, mengunjungi Shantiniketan dan Amritsar sebelum mencapai Dalhousie, sebuah bukit peristirahatan di kaki Himalaya. Di sini, Tagore belajar sejarah, ilmu perbintangan (astronomi), ilmu pengetahuan modern dan Bahasa Sanskerta dan mempelajari serta mendalami karya sastra klasik dari Kālidāsa. Pada 1877, ia menjadi orang terkemuka ketika menghasilkan beberapa karya, termasuk puisi panjang dalam gaya Maithili, yang dirintis oleh Vidyapati. Sebagai sekedar lelucon, ia menyatakan bahwa ini merupakan karya yang hilang dari Bhānusiṃha, sebuah sastra dari aliran Vaiṣṇava. Ia juga menulis "Bhikharini" (1877; "Wanita Pengemis" — cerita pendek pertama dalam Bahasa Bengali) dan juga “Sandya Sangit” (1882) — termasuk di dalamnya puisi yang sangat terkenal "Nirjharer Swapnabhanga" (The Rousing of the Waterfall).

Karena ingin menjadi seorang pengacara, Tagore mendaftar di sekolah umum di kota Brighton, Inggris pada tahun 1878; kemudian melanjutkan di University College London, tapi pada tahun 1880 ia kembali ke Bengali tanpa gelar sarjana, dikarenakan ayahnya telah menjodohkan ia dengan seorang gadis, bernama Mrinalini Devi, yang kemudian dinikahi pada 9 Desember 1883; mereka memiliki lima orang anak, empat di antaranya meninggal sebelum menginjak usia dewasa. Pada tahun 1890, Tagore mulai mengelola usaha keluarganya di Shelidah, sebuah wilayah yang sekarang masuk bagian negara Bangladesh. Dikenal sebagai "Zamindar Babu" Tagore melakukan perjalanan melintasi perkebunan yang sangat luas, untuk mengumpulkan uang sewa, serta memberi berkat pada para penduduk desa. Dalam periode ini, periode Sadhana (1891 — 1895, diambil dari salah satu majalah yang diterbitkannya) ia berada dalam masa-masa yang sangat produktif, di mana lebih dari setengah dari tiga volume dan delapan puluh empat karya "Galpaguchchha" ditulis. Dengan gaya ironi dan emosional yang kental, ia menggambarkan kehidupan di Benggala, kebanyakan adalah kehidupan di pedesaan.

Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan. Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 Januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah Puri serta hak royalti atas karya-karyanya. Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913 Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk di antaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912). Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.

Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik. Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan. Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum Dalit (kelompok kasta rendahan).

Dalam dasawarsanya yang terakhir, Tagore tetap mendapat sorotan publik, secara terbuka mengkritik Gandhi karena mengatakan bahwa gempa bumi yang hebat pada 15 Januari 1934 di Bihar merupakan pembalasan ilahi karena menindas kaum Dalit. Ia juga meratapi kemerosotan sosial-ekonomi yang mulai terjadi di Bengali dan kemiskinan yang merajalelal di Kolkata. Ia mengungkapkannya secara terinci dalam sebuah puisi tak berirama seratus baris dengan teknik visi ganda yang kering kelak digunakan oleh Satyajit Ray dalam filmnya Apur Sansar. Tagore juga menyusun 15 jilid tulisan, termasuk karya-karya prosa liris Punashcha (1932), Shes Saptak (1935), dan Patraput (1936). Ia terus bereksperimen denagn mengembangkna lagu-lagu prosa dan sendratari, termasuk Chitrangada (1914), Shyama (1939), dan Chandalika (1938), dan menulis novel-novel Dui Bon (1933), Malancha (1934), dan Char Adhyay (1934). Tagore mengembangkan minatnya terhadap sains dalam tahun-tahun terakhirnya, dan menulis Visva-Parichay (kumpulan esai) pada 1937. Ia menjelajahi biologi, fisika, dan astronomi; sementara itu, puisinya — yang mengandung naturalisme yang luas — menggarisbawahi rasa hormatnya terhadap hukum-hukum ilmiah. Ia juga menjalin proses sains (termasuk naratif para ilmuwan) ke dalam banyak cerita yang terkandung dalam buku-buku seperti Se (1937), Tin Sangi (1940), dan Galpasalpa (1941).

Empat tahun terakhir hidup Tagore (1937–1941) ditandai oleh rasa sakit yang kronis dan dua penyakit yang lama dideritanya. Hal ini dimlai ketika Tagore kehilangan kesadaran pada akhir 1937; ia tetap berada dalam keadaan koma dan hampir meninggal selama waktu yang panjang. Hal ini diikuti tiga tahun kemudian pada akhir 1940 dengan penyakit yang sama, dan ia tidak pernah pulih kembali. Puisi yang ditulis Tagore pada tahun-tahun ini adalah salah satu yang paling indah, dan sangat menonjol karena perhatiannya yang mendalam terhadap kematian. Pengalaman-pengalaman yang jauh lebih mendalam dan mistis ini memungkinkan Tagore dicap sebagai "penyair modern". Setelah penderitaan yang panjang, Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941 (22 Shravan 1348) di ruang atas dari gedung Jorasanko tempat ia dibesarkan; Hari kematiannya masih tetap diperingati dalam acara-acara publik di seluruh dunia berbahasa Bengali. Tagore meninggalkan warisan yang teramat besar pada dunia, tidak hanya dengan karya-karya sastra, seni dan budaya, namun pemikiran, filsafat dan kehidupannya terus berkembang dan menjadi sumber inspirasi bagi dunia dan umat manusia.

Tagore memiliki jiwa petualangan yang sangat besar. Antara tahun 1878 dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua, perjalanan ini sangat penting artinya dalam mengenalkan karya-karyanya, serta memaparkan ide-ide politiknya kepada kalangan non-Bengali. Sebagai contoh, pada tahun 1912, ia mengirimkan karya-karya yang telah diterjemahkan ke Inggris, yang mengesankan para misionaris, dan anak didik Gandhi; Charles F. Andrews, William Butler Yeats; seorang sastrawan dari Irlandia, Ezra Pound, Robert Bridges, Ernest Rhys, Thomas Sturge Moore, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan kemudian, Yeats menulis kata pengantar untuk Gitanjali yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, sementara Andrews bergabung dengan Tagore di Santiniketan. Pada 10 November 1912, Tagore melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Inggris Raya, tinggal di Butterton, Staffordshire. Dari tanggal 3 Mei 1916 sampai April 1917, Tagore ceramah dan kuliah keliling Jepang dan Amerika Serikat. Ia juga menulis esai "Nasionalisme di India", yang menerima kritikan dan juga menuai pujian, (termasuk para pasifis termasuk dari Romain Rolland). Setelah kembali ke India, Tagore, 63 tahun, mengunjungi Peru atas undangan pemerintahan Peru Tagore, dan dilanjutkan dengan mengunjungi Meksiko setelahnya. Kedua negara mengucurkan sumbangan senilai $100,000 bagi sekolah Shantiniketan (Visva-Bharati) sebagai penghargaan atas kunjungaannya ke kedua negara tersebut. Setelah itu, ia mengadakan kunjungan ke Buenos Aires, Argentina pada 6 November 1924, dan tinggal di Villa Miralrío dan menjadi tamu dari Victoria Ocampo; seorang intelektual dari Argentina. Selanjutnya ia pulang ke Bengali pada Januari 1925. Pada 30 Mei 1926, Tagore menginjakkan kakinya di Napoli, Italia; ia bertemu dengan diktator berkuasa Benito Mussolini di Roma pada hari berikutnya. Pada awalnya mereka memiliki hubungan yang hangat, dan berakhir saat Tagore dengan terang-terangan berbicara menentang Mussolini pada 20 Juli 1926.

Pada 14 Juli 1927, Tagore beserta dua sahabatnya berangkat menuju Asia Tenggara selama empat bulan — mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Catatan perjalanan ini terkumpul dalam karya yang berjudul "Jatri". Pada awal 1936, ia meninggalkan Bengala untuk sebuah perjalanan panjang menuju Eropa dan Amerika Serikat. Dalam kunjungan kembali ke Inggris, dimana saat itu lukisannya sedang dipamerkan di London dan Paris, ia tinggal di Birmingham. Di sana ia menulis materi kuliah untuk kelas yang dikenal sebagai "Kuliah Hibbert" di Universitas Oxford dan menjadi pembicara di pertemuan tahunan Perkumpulan Kristen London. Disini, (dialamatkan pada hubungan antara Inggris dengan India, sebuah topik yang ia terus perjuangkan dan pertahankan selama lebih dari dua tahun kedepan) ia berbicara mengenai "dark chasm of aloofness". Kemudian ia mengunjungi Aga Khan III, tinggal di Dartington Hall, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denmark, Swiss, dan Jerman dari bulan Juni hingga pertengahan September 1930, lalu berlanjut hingga Uni Soviet. Terakhir, pada bulan April 1932, Tagore — yang sebelumnya telah mengenal mistikus Persia terkenal, Hafez — diundang secara pribadi sebagai tamu kehormatan Shah Reza Pahlevi untuk mengunjungi Iran. Sebagaimana seorang petualang, Tagore bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang orang penting dan kenamaan, termasuk di antaranya Henri Bergson, Albert Einstein, Robert Frost, Thomas Mann, George Bernard Shaw, H.G. Wells and Romain Rolland. Perjalanan terakhir Tagore tersiar dengan luas, termasuk saat mengunjungi Persia, Irak (pada tahun 1932) dan Sri Lanka pada tahun 1933, menajamkan opini-opininya berkenaan dengan nasionalisme dan kemanusian.