Hari Perempuan   Women Day

blogger counters


Perebutan Benteng Victoria di Ambon

Perebutan Benteng Victoria di Ambon
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Awalnya Pada tanggal 25 April 1950, golongan separatis yang dipimpin oleh DR. Robert Steven Soumokil memproklamasikan “Republik Maluku Selatan” (RMS). Uluran tangan pemerintah untuk mencari penyelesaian secara damai ditolak oleh pihak RMS. Karena itu pemerintah RI melancarkan operasi militer ke Maluku yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang.

Pendaratan pertama dilakukan di Namlea, Pulau Buru pada tanggal 14 Juli 1950. Sesudah itu diduduki Pulau Tanimbar, kepulauan Aru Kei dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan mendarat di pulau Ambon. Dalam pertempuran jarak dekat untuk merebut benteng Nieuw Victoria pada tanggal 3 Nopember 1950 di kota Ambon. Benteng ini merupakan tempat dimana Pattimura dieksekusi. Group pimpinan Letnan II Kolonel Slamet Riyadi gugur, tetapi seluruh kota dapat di kuasai Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Dengan jatuhnya kota Ambon, kekuatan pokok RMS berhasil dipatahkan.

Christiaan Robbert Steven Soumokil lahir di Surabaya, Jawa Timur, 13 Oktober 1905 – meninggal di Pulau Obi, 12 April 1966 pada umur 60 tahun adalah presiden Republik Maluku Selatan (RMS) dari 1950 sampai 1966. Chris Soumokil dilahirkan di Surabaya dan menempuh pendidikan di sana sebelum pergi ke Belanda. Setelah itu ia mempelajari hukum di Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Jawa dan menjadi pejabat hukum. Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan ke Burma dan Thailand. Setelah perang usai ia kembali ke Indonesia dan menjadi jaksa agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri Luar Negeri RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei.

Tagal serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962. Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer dan dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Kepulauan Seribu.

Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan terror di pengasingan, Belanda. Pemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Mr. dr. Chris Soumokil(Mantan Jaksa Agung NIT yang merupakan underdog Belanda) dibunuh secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.

Dalam bulan september 'Teks miring'2011 Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam wawancara dengan Global Post bahwa KERUSUHAN AMBON sebenarnya REKAYASA dari para elit RMS dan Pendukung RMS di Belanda. mereka membuat skenario seolah-olah TNI dan Pemerintah Republik Indonesia telah lakukan mendestabilisasi Maluku secara politik dan ekonomis. Dalam skenario ini dibuat seolah-olah RMS dipersalahkan dengan sengaja dan kambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti: "Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku.

Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi, tetapi tidak pernah disiksa dan dianiaya. Pada saat itu (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki.